Bagaimanapun keadaanya, dia tetap suami dan ayah dari anak-anakku

Bagaimanapun keadaanya, dia tetap suami dan ayah dari anak-anakku

Aku adalah seorang istri dari suami penderita HIV AIDS, kami dikaruniai dua orang putra. Awal aku mengetahui suamiku mengidap HIV saat pernikahan kami memasuki usia dua bulan. Ketika itu suamiku sakit parah, berat badannya turun drastis bahkan tumbuh benjolan di sekitar tubuhnya. Aku memang sudah biasa melihat dia sakit-sakitan semenjak kita berpacaran, namun kali ini lebih parah, hingga akhirnya mertuaku membawanya ke rumah sakit dibilangan Jakarta untuk mencari tahu penyakit apa yang sebenarnya diderita suamiku.

Perasaan gelisah megiringi doa terbaik yang senantiasa kupanjatkan untuk suamiku karena tidak bisa mendampinginya di rumah sakit, oleh karena pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Akhirnya, rasa penasaran yang senantiasa hinggap di pikiranku pun terjawab ketika aku sampai dirumah, tanpa basa-basi suamiku langsung berterus terang bahwa dirinya terinfeksi HIV-AIDS dan ditambah penyakit paru-paru.

Saat itu aku sangat terkejut, ada perasaan sakit di hatiku, antara percaya dan tidak aku teriak sejadi-jadinya. “Apa nanti jadinya jika semua orang tahu”, apalagi sampai keluargaku tahu?, itulah pertanyaan yang terngiang di dalam benakku. Tak pernah terbayangkan sedikitpun orang yang kucintai dan akhirnya menjadi suamiku bisa terinfeksi HIV, bahkan mendengar kata-kata itupun tak pernah terpikirkan olehku. Keterbukaan dan sikap suamiku yang berani berterus terang bahwa dirinya terinfeksi HIV, itulah yang membuatku kagum.

Tidak bisa kupungkiri perasan aku saat itu begitu syok dan takut, bahkan pernah ada pikiran untuk meninggalkannya, hingga akhirnya aku memberitahu salah satu kakak perempuanku. Ternyata dia menyemagatiku, “itu pilihan kamu dan kamu harus kuat menjalaninya, karena itu adalah cobaan”, ujar kakakku. Disaat usia pernikahan aku yang memasuki bulan kelima ternyata aku hamil, perasaanku sedih bercampur dengan bahagia.

Karena kendala biaya dan minimnya informasi, akhirnya suamiku mendatangi salah satu klinik dekat rumah untuk berobat penyakit paru-parunya, tanpa memberitahu ke dokter penyakit yang sebenarnya (HIV). Setelah tiga bulan menjalankan terapi paru-paru di klinik tersebut, kondisi suamiku semakin membaik dan akhirnya suamiku memberhentikan pengobatan paru-parunya walaupun tidak tuntas pengobatan.

Pada tahun 2007 daerah tempatku tinggal terkena bencana banjir tahunan, di tengah suasana bencana itulah penyakit paru-paru suamiku pun kambuh. Setelah banjir selesai, suamiku kembali mendatangi dokter klinik tersebut dan memberitahukan penyakit yang sebenarnya. Akhirnya suamiku mendapakan petunjuk dari Allah SWT melalui dokter klinik tersebut memberi tahu bahwa ada pelayanan untuk orang penderita HIV AIDS di rumah sakit daerah Tangerang, dan suamiku pun dirujuk.

Keesokan harinya disaat kehamilanku memasuki usia delapan bulan, aku, suamiku, dan mertua perempuanku pergi ke rumah sakit. Setelah bertemu dokter yang menangani HIV, barulah aku dan suamiku mendapatkan informasi mengenai HIV. Ada perasaan was-was ketika mendengar perkataan dokter, “apabila darahku terinfeksi HIV ada kemungkinan anak yang kulahirkan akan terinfeksi juga, jika tidak ditangani degan benar”, lalu dokter menyarankan aku periksa darah untuk mengetahui tertular apa tidaknya aku dari suamiku.

Setelah pemeriksaan darahku di laboratorium hasilnya menunjukan non reaktif, begitupun darah yang kedua dan yang ketiga, darahku di cek hasilnya masih tetap menunjukan non reaktif, aku merasa sangat bersyukur.

Akhirnya aku bisa melahirkan secara normal di Puskesmas, walaupun pada awalnya dokter menyarankan harus di cesar. Pada waktu yang bersamaan itu juga suamiku bisa melanjutkan pengobatan paru-parunya, walau diulang dari awal lagi dan sekaligus untuk pengobatan HIV-nya.

Ternyata keadaan tak seburuk apa yang kupikirkan, aku masih bersama suamiku dan terus menemaninya, karena cinta yang membuat aku bertahan. Keluarga suamiku selalu mendukung kami, dan aku percaya Tuhan YME telah menentukan inilah jalanku, aku harus melewatinya, serta selalu mendukung suamiku.

Aku sangat bersyukur, hampir sepuluh tahun menikah, aku sudah dikaruniai dua orang putra yang sehat-sehat. Suamiku sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan diseputar HIV AIDS, dan aku sibuk menjadi ibu rumah tangga, kami hidup normal layaknya orang lain. Pengalaman hidup yang telah kulewati membuktikan bahwa umur sudah ada yang mengatur, tanpa penyakit atau tidak, manusia pasti akan kembali kepada-Nya. Tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan selama masih menjaga aturan dengan baik dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan YME.

Anak pertamaku kini berumur delapan tahun sudah duduk dikelas dua sekolah dasar, dan anak keduaku berumur tiga tahun, aku terus bersyukur kepada Tuhan YME, virus HIV itu belum ada di dalam tubuhku selama aku dan suamiku mematuhi aturan-aturan dan batasan-batasan cara penularan HIV.

Aku terus menjalani hidupku bersama suamiku secara normal, aku tidak pernah menganggap suamiku mempunyai penyakit (HIV), yang sebagian banyak orang menganggap penyakit tersebut adalah penyakit yang mengerikan. Aku percaya kepada Yang Maha Kuasa, ini semua adalah takdir yang harus kujalani sebagai istri dari suami yang mengidap HIV AIDS.

[Kisah nyata perempuan yang suaminya terinfeksi HIV AIDS]

Post author

Leave a Reply