ARV Si Neng Harga Mati

ARV Si Neng Harga Mati

“Bi.. kemana Mamah, kok ngajarnya nggak pulang-pulang?” Begitu sepenggal pertanyaan seorang anak di hadapan saya, kepada sang bibi (tante/adik Ibu/Bapak dalam bahasa Sunda) sambil mengendong boneka yang mulai lusuh. “Mamah masih ditugasin ngajar neng.. Sebentar lagi pulang┝ jawab sang bibi dengan terbata.

Sebuah dialog yang sederhana dan mungkin sebuah pertanyaan biasa jika dilontarkan dalam kondisi normal, tapi jika yang mendengarnya tahu apa yang terjadi sebenarnya, terasa mengiris hati. Tak seharusnya anak enam tahun menanggung sebuah beban yang tak pernah dimintanya, ia hanya korban.

Baru saja lewat 40 hari, sang ibu menghadap Sang Pencipta di ranjang rumah sakit provinsi di selatan Ciamis. Dia tak kuat melawan penyakit yang dideritanya empat bulan terakhir. Tubuhnya akhirnya menyerah terhadap penyakit Tuberkulosis (TB) yang sudah kronis setelah sebelumnya menderita diare hebat, dampak dari Infeksi Oportunistik (IO) atau penyakit bawaan AIDS yang tak diketahuinya. Sang ayah sudah duluan berpulang kepada Sang Pencipta, juga dengan penyebab yang sama.

Kini sang anak pun sudah didiagnosis positiv HIV dan juga menderita TB, untungnya sedikit keceriaan ala anak-anak masih melingkupinya. Ia masih mampu beraktivitas layaknya anak-anak normal lainnya, walaupun ada sebersit tanda tanya di raut wajahnya.

Dok KPA Kab. Tangerang
Dok KPA Kab. Tangerang

Tapi balada sang anak belum usai. Sebuah kenyataan yang tak semestinya dijalankan, mau tak mau harus dijalaninya. Terapi Antiretroviral (ARV) yang tak lama lagi akan dijalaninya mengundang miris. Anak enam tahun ini harus mengkonsumsi rutin obat, dua kali sehari seumur hidupnya. Dia harus kembali berjuang dengan rasa pahit dan besarnya bentuk obat ini. Penderita HIV/AIDS dewasa saja banyak yang merasa bosan dan malas, apalagi anak enam tahun ini. Solusi sementaranya hanya dengan bantuan menggerus obat itu agar tak lagi berbentuk besar. Tapi untuk rasa pahitnya, tetap tak bisa dihilangkan.

“Saya tak tega. Dulu ibunya saja sempat ARV, saya kasihan lihatnya. Harus minum obat tiap hari, apalagi si neng”, ucap sang bibi sambil menghela nafas panjang.

Derita si neng ini bukan lagi hanya menjadi sebuah PR besar bagi negara ini, tapi sudah harus masuk kategori kebutuhan mendesak. Ingat, anak-anak penderita HIV AIDS adalah korban yang tak meminta, bahkan tak tahu sama sekali jika di tubuh mereka telah bersemayam virus sejak keluar dari rahim sang ibu. Mereka sebenarnya tak layak harus menanggung lagi kepahitan dan kesulitan dalam mengkonsumsi obat yang harus diminumnya seumur hidup.

Data Kementerian Kesehatan (KEMENKES) RI mencatat, penderita HIV pada anak usia 0-4 tahun sampai dengan Maret 2014 terus meningkat. Tahun 2013 tercatat 759 penderita, atau naik 110 penderita dari jumlah 649 penderita di tahun 2012. Begitu pula pada anak usia 5-14 tahun. Meningkat dari tahun 2012 sebanyak 247 penderita menjadi 316 di tahun 2013, dan sampai Maret 2014 sudah bertambah 48 penderita menjadi total 295 penderita.

Namun peningkatan angka penderita ini tidak diimbangi dengan cukupnya jumlah farmasi rekanan pemerintah Indonesia dalam pengadaan ARV untuk anak dalam bentuk sirup dan ARV pediatrik, yakni ARV dosis tunggal kombinasi dari tiga jenis obat (stavudine, lamivudine, nevirapine) yang dijadikan satu tablet sehingga memudahkan anak dalam mengkonsumsinya. Beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam telah berhasil menyediakan ARV pediatrik dalam bentuk tablet mudah larut dan sirup.

Maka tak salah jika para penggiat, aktivis dan pendamping ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) terus menerus mendesak pemerintah segera bertindak cepat melakukan pengadaan ARV untuk anak dalam bentuk sirup atau minimal ARV pediatrik dalam bentuk tablet mudah larut.

Seperti yang disuarakan dalam Musyawarah HIV AIDS se-Jawa Barat Ke-4 yang baru saja diselenggarakan di Bandung pertengahan Juni lalu. Selain mendesak pemerintah Indonesia segera memproduksi ARV dalam negeri, ketersediaan ARV sirup untuk anak penderita HIV/AIDS pun juga diminta segera diperhatikan.

Ingat, apakah nasib si neng akan berakhir begitu saja akibat lagi-lagi kita sebagai orang dewasa mengabaikan hak asasinya untuk hidup di muka bumi ini. Setelah dia ditularkan virus yang belum ada penyembuhnya ini, lalu satu-satunya harapan hidupnya lewat ARV yang mudah dikonsumsi bagi anak-anak pun masih juga diabaikan keberadaannya. Kestabilan ketersediaan ARV anak adalah harga mati, siapa pun pemimpin negeri ini.

D.NOVRIANSYAH

Outreach Worker LSM Mata Hati Jawa Barat

Post author

Leave a Reply